Tentang Rasa dan Pengalaman: Museum MACAN

Saat pertama kali mendengar bahwa Museum MACAN akan dibuka, reaksi pertama adalah: apakah ini museum dedicated to kucing-kucing besar di rimba? Tapi ohh ternyata ada kepanjangannya... MACAN is stand for Modern and Contemporary Art in Nusantara. Yang namanya seni kontemporer pasti unik dan somehow enak dipandang (karena uniknya itu). Sewaktu kuliah di Leiden tahun 2015 - 2016, saya beberapa kali mengunjungi museum-museum atau exhibitions yang berisi karya-karya seni kontemporer. Seru? IYA! Ngerti? NGGAK! Hahahaha... Sebagian besar pameran seni-seni kontemporer buat orang awam seperti saya itu sulit dipahami. Namun, ketika kita sudah baca deskripsi / keterangan di dinding ataupun leaflet yang kita ambil, ketidakpahaman itu mungkin akan berubah menjadi senyuman, dahi yang berkerut akan sedikit memuai (lah?). Intinya, kalau ke pameran seni kontemporer, sangat disarankan untuk membaca dengan baik maksud di balik karya tersebut. Walaupun itu juga tidak menjamin kita (yang orang awam ini) paham 100% dengan maksud karya seni tersebut. Beberapa kali saya melihat pertunjukan live ataupun di museum seni kontemporer dimana mereka telanjang dan melakukan gerakan-gerakan tertentu. Walaupun saya baca deskripsinya, terkadang saya masih sulit paham.. Tapi itu bukan salah mereka, salah saya saja yang pemahaman seninya memang kurang. hehe...

Kembali ke museum MACAN. Sejak dibuka, beberapa kali saya berniat untuk datang kesana, namun apalah daya karena tempat kerja sekarang di Bandung dan jarang weekend ke Jakarta kalau bukan karena urusan tertentu (mostly kerjaan), jadi gagal terus. Oh ya, apalagi lokasinya di Jakarta Barat yang which is bukan daerah favorit saya di Jakarta. Butuh niat yang besar dan akumulatif untuk pergi ke museum itu. Lalu, sesuai prediksi, semenjak dibuka sampai saat ini (detik ini) museum MACAN menjadi next hot item for museum junkie, art lover, and also instagram user. Tempatnya nyeni, interaktif, dan instagrammable for sure!. Sungguh pengalaman yang berbeda jika dibandingkan dengan saat kunjungan saya ke pameran sejenis di Eropa.



Apa yang membedakan? Satu hal yang pasti adalah keramaian pengunjung. Antusiasme pengunjung Indonesia terhadap museum MACAN memang luar biasa, hingga dibuat sistem ticketing dengan waktu berjenjang (10.00-12.00, 12.00-14.00, 14.00-16.00, 16.00-18.00, dan 18.00-20.00). Pengunjung yang mempunyai tiket jam 12.00-14.00, diharapkan masuk museum pada rentang jam tersebut. Kalau lewat atau belum waktunya, yaa... tidak boleh masuk. Sungguh hal yang belum pernah saya alami di Eropa. Bahkan jadwal pada hari-hari libur dipastikan akan lebih cepat sold out. Belilah dengan cara online untuk menghindari datang ke museum dengan sia-sia karena tiket habis. Waktu itu tiket saya terjadwal tanggal 1 Juni 2018 jam 14.00-16.00. Nah, pukul 13.30, para calon pengunjung dengan jadwal yang sama seperti saya sudah antre mengular di depan pintu masuk. Wow! Walaupun saya tahu motivasi terbesar sebagian besar dari mereka (juga saya) adalah supaya bisa lebih banyak waktu untuk foto-foto ataupun dapat antrean cepat/terdepan ke photo/selfie spot yang mana merupakan bagian dari karya-karya seni kontemporernya.

Tema pameran museum MACAN yang saya datangi adalah "YAYOI KUSAMA: LIFE IS THE HEART OF A RAINBOW". Sesuai nama temanya, sebagian besar isi museum memamerkan karya Yayoi Kusama, seorang seniman wanita dari Jepang. Jika tertarik, kisah hidupnya dapat didalami untuk mendapatkan insight mengapa muncul karya-karya polkadotnya, hitam putih, warna-warni, dsb. Saya datang sekitar pukul 12.30, saya bisa membaca deskripsi mengenai perjalanan hidup Yayoi Kusama dan juga hasil-hasil karyanya. Bagi saya, ketika sudah masuk museum, akan sulit untuk benar-benar memaknai dan membaca satu persatu deskripsi hasil karya tersebut. Sebenarnya saya ingin sekali secara perlahan menikmati apa yang disajikan, tetapi karena saat itu saya datang bersama ibu dan adik bungsu di saat bulan puasa, jadinya sulit deh (intinya seperti itu, agak sulit menjelaskan dengan lengkap. hhe). So, tips yang kedua adalah tentukan tujuan kita datang kesini... untuk foto-foto atau menikmati karya seni.. karena kalau untuk kedua hal itu, diperlukan waktu yang lumayan panjang. Di setiap art spot yang instagrammable, ada petugas yang menjaga dan mengontrol waktu (dari 30 detik sampai 3 menit). Percayalah, waktu tersebut tidak cukup digunakan untuk foto-foto sambil menikmati karya seni. Pilih salah satu atau mengantre 2 kali. dan akhirnya saya memilih hanya untuk foto-foto (to please my mom and sister). Kalau mengantre 2 kali, hmm.. pikir-pikir banget karena antreannya panjang seperti antrean wahana di dufan. Bahkan saya saja malas mengantre untuk Infinity Rooms yang nge-hitz itu. Kasihan ibu :(



Indonesia memang lebih banyak membutuhkan museum yang interaktif seperti ini (maybe I will talk about this later). Di sesi terakhir, kami sempat mendatangi spot FLOATING GARDEN (yang menurut saya entah mengapa agak tersembunyi). Disana kami (saya, ibu, dan Dinda) bisa ikut membuat karya seni dengan menjiplak (persis seperti menjiplak koin) memakai pensil warna dan bisa dibawa pulang. It was a nice experience for us! Sebelum itu kami juga diberi kesempatan untuk menempel-nempel stiker bulat warna-warni di tempat yang tadinya putih semua, tapi sekarang sudah menjadi ruangan polkadot warna-warni (Aduh lupa nama spotnya apa!).


Overall, museum MACAN pasti memberikan pengalaman dan insight baru bagi pengunjung yang datang. Walaupun mungkin pada awalnya hanya berniat untuk foto-foto, tapi pasti ada rasa-rasa keindahan yang bisa dibawa pulang dan berbeda dengan wisata-wisata selfie lainnya. Bagi yang memang datang kesana untuk menikmati karya-karya seni Yayoi Kusama, menurutku sangat bisa terpuaskan. Dengan toleransi pastinya, karena karakter-karakter pengunjung museum itu berbeda-beda. Kalau tanpa toleransi, hidup pastilah terasa sempit (lah promosi lagu Sabyan. wkwk)..

Salam,

Anggita

Comments

Popular Posts